Sabtu, 13 Juli 2019

UNSUR KEBUDAYAAN SUKU MAKASSAR


7 unsur kebudayaan suku makassar


unsur budaya universal : 
1. Bahasa : Lontara 





Daeng Pamatte' lahir di Kampung Lakiung (Gowa). Beliau adalah salah seorang tokoh sejarah Kerajaan Gowa yang tidak dapat dilupakan karena karya besar yang ditinggalkannya. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, menyebut nama Daeng Pamatte', orang lantas mengingat karyanya yaitu huruf Lontara. Dia dikenal sebagai pencipta huruf Lontara Makassar dan pengarang buku Lontara Bilang Gowa Tallo.

Pada masa Kerajaan Gowa diperintah Raja Gowa ke IX Karaeng Tumapakrisi Kallonna, tersebutlah Daeng Pamatte' sebagai seorang pejabat yang dikenal karena kepandaiannya. Tidak heran apabila ia dipercaya oleh Baginda untuk memegang dua jabatan penting sekaligus dalam pemerintahan yaitu sebagai "sabannara" (syahbandar) merangkap "Tumailalang" (Menteri Urusan Istana Dalam dan Luar Negeri) yang bertanggung jawab mengurus kemakmuran dan pemerintahan Gowa.

Lahirnya karya bersejarah yang dibuat "Daeng Pamatte" bermula karena ia diperintah oleh Karaeng Tumapakrisi Kallonna untuk mencipta huruf Makassar. Hal ini mungkin didasari kebutuhan dan kesadaran dari Baginda waktu itu, agar pemerintah kerajaan dapat berkomunikasi secara tulis-menulis, dan agar peristiwa-peristiwa kerajaan dapat dicatat secara tertulis.

Maka Daeng Pamatte' pun melaksanakan dan berhasil memenuhinya. Dimana ia berhasil mengarang Aksara Lontara yang terdiri dari 18 huruf . Lontara ciptaan Daeng Pamatte ini dikenal dengan istilah Lontara Toa (het oude Makassarche letters chrif) atau Lontara Jangang-Jangang (burung) karena bentuknya seperti burung. Juga ada pendapat yang mengatakan dasar pembentukan aksara Lontara dipengaruhi oleh huruf Sangsekerta.

Kemudian Lontara ciptaan Daeng Pamatte' ini, mengalami perkembangan dan perubahan secara terus menerus sampai pada abad ke XIX. Perubahan huruf tersebut baik dari segi bentuknya maupun jumlahnya yakni 18 menjadi 19 dengan ditambahkannya satu huruf yakni "ha" sebagai pengaruh masuknya Islam. (Monografi Kebudayaan Makassar di Sulawesi Selatan 1984 : 11).

2. Sistem pengetahuan

Menurut suku Makassar dalam menentukan hari baik atau tanggal baik dalam melaksanakan sesuatu seperti menentukan hari pernikahan, masuk rumah, mendaftarkan diri untuk umroh dan lain-lain ada 1 orang atau 2 orang dari keluarga tersebut mendatangi keturunan leluhur atau biasanya di sebut orang pintar untuk menanyakan hari baik tersebut. Dan ketika kita mendatangi orang pintar tersebut untuk menanyakan hari baik, rupanya tidak langsung biasa menentukan, karna membutuhkan waktu biasanya 2 sampai 3 hari, karena orang pintar tersebut biasanya menerawang di malam senin, kamis, dan jumat. Agar makin kuat untuk menentukan hari baik biasanya kita dilengkapi dengan sholat istikhara berharap kepada allah agar diberikan petunjuk dan taufiknya agar tercapai sesuai dengan keyakinan kita dan mendapatkan berkah kebaikan.

3. Sistem kemasyarakatan
Pelapisan sosial masyarakat Makassar terpengaruh oleh sisa-sisa sistem sosial zaman Kerajaan Tana (Buta) ri Gowa dan Kesultanan Makassar dulu. Pada zaman dulu Kerajaan Gowa dibagi ke dalam beberapa daerah yang disebut bate. Masing-masing diperintah oleh seorang kepala negeri yang disebut karaeng atau gollarang. Pada masa sekarang para bangsawan keturunan raja-raja Gowa itu disebut ana' karaeng Maraenganaya. Lapisan sosial orang biasa yang mayoritas, disebut maradeka. Pada zaman dulu dikenal pula satu lapisan paling bawah, yaitu para hamba sahaya yang disebut ata.

Sistem hubungan kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat ini adalah bilateral, karena keluarga besar pihak ayah dan pihak ibu dianggap sama-sama memiliki peran penting dalam kehidupan sosial seseorang. Tetapi mereka mengkategorikan hubungan kekerabatan itu berdasarkan kedekatan dan keakrabatan. Kerabat yang dianggap "dekat" disebut bija. Kerabat dekat ini dibedakan lagi menjadi bija pammanaka, yaitu kerabat dekat karena hubungan darah, dan bija panreng-rengan, yaitu kerabat dekat karena hubungan perkawinan. Bentuk pemilihan jodoh secara tradisional cenderung endogami keluarga besar, terutama pilihan yang disebut saudara sepupu silang, walaupun pada masa sekarang sudah amat sulit dipertahankan. Sedangkan pola menetap sesudah menikah cenderung untuk bersifat virilokal, yaitu tinggal menetap di lingkungan pihak orang tua lelaki suami.

4. Sistem peralatan hidup & teknologi 
Sistem teknologi masyarakat Sulawesi Selatan dapat dilihat pada kapal pinisi yang  digunakan berlayar dan juga badik sebagai senjata tradisionalnya

a. Kapal Pinisi
Perahu  Pinisi termasuk alat transportasi laut tradisional masyarakat Bugis yang sudah  terkenal sejak berabad-abad yang lalu. Menurut cerita di dalam naskah Lontarak  I Babad La Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada sekitar abad ke-14 M. Menurut  naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putra  Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan untuk membuat perahu tersebut diambil dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal sangat kokoh dan tidak mudah rapuh. Namun, sebelum  pohon itu ditebang, terlebih dahulu dilaksanakan upacara khusus agar  penunggunya bersedia pindah ke pohon lainnya. Sawerigading membuat perahu tersebut  untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang  bernama We Cudai.

Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang dan juga mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia.
Hingga  saat ini, Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai produsen Perahu Pinisi, dimana para pengrajinnya tetap mempertahankan tradisi dalam pembuatan perahu tersebut,  terutama di Keluharan Tana Beru.

b. Badik
adik atau badek adalah pisau dengan bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Badik bersisi tajam tunggal atau ganda. Seperti keris, bentuknya asimetris dan bilahnya kerap kali dihiasi dengan pamor. Namun demikian, berbeda dari keris, badik tidak pernah memiliki ganja (penyangga bilah).






Badik ini merupakan senjata khas tradisonal Makassar, Bugis dan Mandar yang berada dikepulauan Sulawesi. Ukurannya yang pendek dan mudah dibawa kemana mana.Maka biasanya senjata adat yang bernama Badik ini dahulu sering dipakai oleh kalangan petani untuk melindungi dirinya dari binatang melata dan atau membunuh hewan hutan yang mengganggu tanamannya. Selain itu karena orang bugis gemar merantau maka penyematan badik dipinggangnya membuat dia merasa terlindungi. Badik memiliki bentuk dan sebutan yang berbeda-beda tergantung dari daerah mana ia berasal.

Umumnya badik digunakan untuk membela diri dalam mempertahankan harga diri seseorang atau keluarga. Hal ini didasarkan pada budaya siri' dengan makna untuk mempertahankan martabat suatu keluarga. Konsep siri' ini sudah menyatu dalam tingkah laku, sistem sosial budaya dan cara berpikir masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar di Sulawesi Selatan. Selain dari pada itu ada pula badik yang berfungsi sebagai benda pusaka, seperti badik saroso yang memiliki nilai sejarah. Ada pula sebagian orang yang meyakini bahwa badik berguna sebagai jimat yang berpengaruh pada nilai baik dan buruk seseorang

c. Sepeda & Bendi

Sepeda ataupun Dokar, koleksi Perangkat pertanian Tadisional ini adalah bukti sejarah peradaban bahwa sejak jaman dahulu bangsa indonesia khususnya masyarakat Sulawesi Selatan telah dikenali sebagai masyarakat yang bercocok tanam. Mereka menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian terutama tanaman padi sebagai bahan makanan pokok.

d. Koleksi peralatan tenun tradisional

Dari koleksi Peralatan Tenun Tradisional ini, dapat di ketahui bahwa budaya menenun di Sulawesi Selatan diperkirakan berawal dari jaman prasejarah, yakni ditemukan berbagai jenis benda peninggalan kebudayaan di beberapa daerahseperti leang – leang kabupaten maros yang diperkirakan sebagai pendukung pembuat pakaian dari kulit kayu dan serat – serat tumbuhan-tumbuhan. Ketika pengetahuan manusia pada zaman itu mulai Berkembang mereka menemukan cara yang lebih baik yakni alat pemintal tenun dengan bahan baku benang kapas. Dari sinilah mulai tercipta berbagai jenis corak kain saung dan pakaian tradisional.

5. Sistem mata pencaharian
Pada dasarnya mata pencaharian orang Makassar adalah menanam padi di sawah yang telah mengembangkan sistem irigasi tradisional. Selain itu, pertanian sayur-sayuran, buah-buahan dan tanaman keras juga cukup berkembang. Akan tetapi di mata masyarakat lain orang Makassar lebih terkenal sebagai nelayan penangkap ikan, pedagang dan pelaut yang gigih. Mereka telah mengembangkan tradisi dan pengetahuan kelautan yang mengagumkan. Jenis perahu Makassar yang disebut pinisi terkenal sebagai perahu yang kuat dan ramping serta mampu mengarungi lautan luas selama berbulan-bulan. Karena ciri kebudayaan seperti itu, maka orang Makassar sering diidentikkan dengan orang Bugis, tidak heran kalau kedua nama itu sering ditulis oleh penulis lama dalam kata majemuk Bugis-Makassar.


6. Sistem Religi
Orang Makassar sudah sejak lama memeluk agama Islam. Walaupun begitu dalam kehidupan sehari-hari sebagian masih mempertahankan sisa-sisa keyakinan pra-Islam. Sebelum kedatangan agama Islam orang Makassar mempercayai adanya tokoh-tokoh dewa dan roh nenek moyang serta makhluk gaib lainnya. Tokoh dewa tertinggi dalam keyakinan mereka itu disebut Patotoe atau Dewata Seuae (Dewata Yang Tunggal). Keyakinan lama itu masih nampak dalam pelaksanaan upacara-upacara setempat, terutama yang berkaitan dengan pertanian dan daur hidup, serta pemeliharaan tempat-tempat yang dianggap keramat (saukang).

7. Kesenian 
Kesenian selawesi selatan di kenal sebagai kebudayaan tinggi dalam konteks kekinian. Karena pada dasarnya, seni tidak hanya menyentuh aspek bentuk morfologis, tapi lebih dari itu dia mampu memberikan kontribusi psikologis. Di samping memberikan kesadaran setetis, juga mampu melahirkan kesadaran etis. Dianta kedua nilai tersebut, tentunya tidak terlepas dari sejauhmana masyarakat kesenian public art mampu mengapresiasi dan menginterpretasikan makna dan simbol dari sebuah pesan yang dituangkan dalam karya seni.

  • Tari pakarena

Tari Pakarena Merupakan tarian khas Sulawesi Selatan, Nama Pakarena sendiri di ambil dari bahasa setempat, yaitu karena yang artinya main. Tarian ini pada awalnya hanya dipertunjukkan di istana kerajaan, namun dalam perkembangannya tari Pakarena lebih memasyarakat di kalangan rakyat.


  
Menggelar tarian pakarena dengan diiringi tabuhan ganrang (gendang) oleh masyarakat Gowa merupakan simbolisasi penghargaan kepada nenek moyang atau leluhur, sehingga tarian ini tidak boleh lalai dilakukan karena ditakutkan ada gangguan dari arwah leluhur yang merasa tidak mendapatkan penghormatan yang sepantasnya.Tari Pakarena memberikan kesan kelembutan. Hal tersebut mencerminkan watak perempuan yang lembut, sopan, setia, patuh dan hormat pada laki-laki terutama pada suami. Sepanjang Pertunjukan Tari Pakarena selalu diiringi dengan gerakan lembut para penarinya sehingga menyulitkan bagi masyarakat awam untuk mengadakan babak pada tarian tersebut


  • Gandrang bulo

Gandrang Bulo adalah tarian tradisional khas Makassar yang diiringi oleh tabuan gendang dan tabuan bambu. Kata gandrang bulo sendiri berasal dari dua kata, yaitu “gandrang” yang berarti tabuan atau pukulan dan “bulo” yang berarti bambu.  Gandrang bulo biasanya dimainkan oleh beberapa orang dengan suasana yang ceria dan ramai, didalamnya biasanya diselipkan dialog yang kritis namun tetapmemberi kesan lucu dan menghibur. Dialog yang disisipkan dalam tarian seperti masalah politik, sosial dan budaya

  • Rumah adat
Tiap daerah atau tiap suku pasti mempunyai rumah adat khas, begitu pula dengan suku Makassar. Rumah dalam bahasa Makassar di sebut “Balla Lompoa” rumah ini berbentuk rumah panggung dengan kayu sebagai penyangganya


  • Baju Bodo 

Sesuai dengan namanya “bodo” yang berarti pendek, baju ini memang berlengan pendek. Dahulu Baju Bodo dipakai tanpa baju dalaman sehingga memperlihatkan payudara dan lekuk-lekuk dada pemakainya, dan dipadukan dengan sehelai sarung yang menutupi bagian pinggang ke bawah badan.

Namun seiring dengan masuknya pengaruh Islam di daerah ini, baju yang tadinya memperlihatkan aurat pun mengalami perubahan. Busana transparan ini kemudian dipasangkan dengan baju dalaman berwarna sama,namun lebih terang. Sedangkan busana bagian bawahnya berupa sarung sutera senada 

Baju Bodo memang pakaian tradisional khusus untuk perempuan yang dalam penggunaannya memiliki aturan berdasarkan warna yang melambangkan tingkat usia dan kasta perempuan pemakainya. Warna jingga untuk perempuan berusia 10 tahun, jingga dan merah darah untuk perempuan berusia 10 sampai 14 tahun, merah darah untuk perempuan berusia 17 sampai 25 tahun, warna putih dipakai para inang dan dukun, warna hijau khusus dipakai para puteri bangsawan, dan warna ungu dipakai oleh para janda.

  • Lagu daerah

lagu Daerah Sulawesi Selatan, di antaranya anging Mammiri, anak kukang, Sulawesi pa’rasanganta, Ma’rencong-renccong, Ati Raja, dan Masih Banyak Lagi.
Berikut lirik
 dan makna dari lagu Anging Mammiri
Anging mammiri ku pasang
Pitujui tontonganna
Tusarroa takkaluppa (2X)

E..aule…
Namangngu’rangi
Tutenayya…tutenayya pa’risi’na (2X)

Battumi anging mammiri
Anging ngerang dinging-dinging
Namalantang saribuku

E..aule…
Mangerang nakku
Nalo’lorang… nalo’lorang je’ne mata

Anging mammiri ku pasang
Pitujui tontonganna
Tusarroa takkaluppa

Makna lagu
Angiing Mamiri merupakan lagu yang diciptakan oleh Bora D.G. Irate. Arti dari Anging Mamiri adalah angin yang bertiup, membawa kesejukan dan pesan rindu kepada orang tersayang. Kalau belum tahu lagunya, berikut ini ada lirik Anging Mamiri yang bisa kamu ikuti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar